subhi x11
NIKAH WANITA HAMIL
(Disampaikan pada 21 September 2006)

Kehidupan modern dengan segala tantangan dan peluangnya, telah menyeret manusia ke berbagai perilaku yang kadang-kadang jauh dari ajaran Al-Qur’an. Kemajuan teknologi, menjadikan manusia semakin mudah melaksanakan segala aktifitasnya, dunia serasa sudah dalam genggaman manakala manusia sudah memegang HP dan internet. Kemajuan teknologi seperti ini telah menyeret pula pada perilaku manusia yang hedonistik, serba bebas.
Kehidupan yang serba bebas ini pula telah menyeret pada perilaku anak muda yang menikmati seks bebas. Seks bebas inilah yang akhirnya menjadikan banyak wanita yang hamil di luar nikah. Bagaimana Islam menjawab persoalan ini? Dinikahkankah? bagaimana hubungan anak tersebut terhadap orang tuanya dan konsekuensi logis dari status tersebut?

Pengertian Nikah atau Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1974 Pasal 1 menyebutkan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Nikah Wanita hamil
Jika seorang laki-laki (A) dan perempuan (B) berzina lalu menikah ketika si B hamil, maka para ulama sepakat membolehkannya. Hal ini sejalan pula dengan KHI Pasal 53 ayat (1) yang berbunyai: “Seorang wanita yang hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” dan ayat (2) yang berbunyi Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”. Pernikahan itu sah dan keduanya boleh melakukan hubungan suami istri.
Kemudian jika si B melahirkan anak hasil perzinaan tersebut setelah enam (6) bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada si A. Alasannya ialah, tempo kehamilan itu minimalnya adalah enam bulan menurut kesepakatan ulama. Setelah itu si A bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan lainnya sama persis dengan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang wajar.
Jika anak yang dilahirkan tersebut sebelum enam bulan dari pernikahan dengan si A maka anak tersebut dinasabkan dengan si B. Si A tetap bertanggung jawab atas pendidikan anak tersebut. Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya, bukan kepada pria yang menzinai ibunya. Ini karena anak tersebut hasil perzinaan dan perzinaan tidak menimbulkan dampak penetapan anak tersebut kepada laki-laki yang menzinai ibunya, menurut kesepakan jumhur ulama. Alasannya, nasab itu adalah kenikmatan yang dkaruniakan Allah. Dengan ditetapkannya nasab itu, seorang ayah wajib menafkahi, mendidik, menjadi wali nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena nasab itu menjadi kenikmatan, maka ia tidak boleh didapatkan dengan sesuatu yang haram.
Dalil yang mendasari alasan tersebut adalah, hadits berikut:

قال رسول االه صلى الله عليه وسلم: الولد للفرش وللعاهر الحجر (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: ‘ Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai mati) HR. Bokhori Muslim

Kesimpulan:
1. Wanita yang hamil di luar nikah, tidak ada masalah untuk dinikahkan.
2. Dengan dinikahkannya wanita hamil tersebut, maka tidak perlu diulangi pernikahan.
3. Anak yang lahir sebelum enam bulan dari pernikahan, maka dinasabkan pada ibunya, sedang jika sesudah enam bulan, maka tetap dinasabkan pada bapaknya.
Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar